"when you look closely to the path you have travel on, you will realise that God was always with you, directing every step you took"

Minggu, 30 April 2017

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)

      Untuk pembahasan mengenai Corporate Social Responsibility (CSR), kali ini saya menggunakan buku referensi dari DR. A. Sonny Keraf yang berjudul "ETIKA BISNIS TUNTUTAN DAN RELEVANSINYA".
Topik-topik yang akan dibahas adalah mengenai:
1. Syarat bagi Tanggung Jawab Moral
2. Status Perusahaan
3. Lingkup Tanggung Jawab Sosial 
4. Argumen yang Menentang Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
5. Argumen yang Mendukung Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
6. Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan





      Namun sebelum membahas lebih lanjut mengenai topik-topik bahasan yang telah disebutkan diatas, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu tanggung jawab sosial perusahaan atau  corporate social responsibility (CSR)?. Dengan begitu kita akan lebih mudah memahami topik-topik yang akan dibahas pada tulisan kali ini.


    Tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu konsep bahwa organisasi, khususnya (namun bukan hanya), perusahaan adalah memiliki berbagai bentuk tanggung jawab terhadap seluruh pemangku kepentingannya, yang diantaranya adalah, konsumen, karyawan, pemegang saham, komunitas, dan lingkungan dalam segala aspek operasional perusahaan yang mencakup aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, CSR berhubungan erat dengan "pembangunan berkelanjutan", yaakni suatu organisasi, terutama perusahaan, dalam melaksanakan aktivitasnya harus mendasarkan keputusannya tidak semata berdasarkan dampaknya dalam aspek ekonomi, misalnya tingkat keuntungan atau deviden, tetapi juga harus menimbang dampak sosial dan lingkungan yang timbul ari keputusannya itu, baik untuk jangka pendek maupun untuk jangka yang lebih panjang. Dengan pengertian tersebut, CSR dapat dikatakan sebagai kontribusi perusahaan terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan dengan cara manajemen dampak (minimisasi dampak negatif dan maksimisasi dampak positif) terhadap seluruh pemangku kepentingannya.


         Setelah mengetahui apa itu CSR dari penjelasan diatas, selanjutnya kita akan membahas topik-topik mengenai CSR yang telah disebutkan sebelumnya:

1. Syarat bagi Tanggung Jawab Moral
Paling tidak ada tiga syarat penting  bagi tanggung jawab moral.
a.    Pertama, tanggung jawab mengendalikan bahwa suatu tindakan dilakukan dengan sadar dan tahu. Tanggung jawab hanya bisa dituntut dari seseorang kalau ia bertindak dengan sadar dan tahu mengnai tindakannya itu serta konsekuensi dari tindakannya. Hanya kalau seseorang bertindak dengan sadar dan tahu, baru relevan bagi kita untuk menuntut tanggung jawab dan prtanggungjawaban moral atas tindakannya. Ini juga mengandaikan bahwa pelakunya tahu mengenai baik dan buruk. Ia tahu bahwa tindakan atau perilaku tertentu secara moral buruk sementara tindakan atau perilaku yang lain secara moral baik. Kalau seseorang tidak  tahu mengenai baik dan buruk secara moral, dia dengan sendirinya tidak bisa punya tanggung jawan moral atas tindakannya. Dengan demikian, syarat pertama bagi tanggung jawab moral atas suatu tindakan adalah bahwa tindakan itu dijalankan oleh pribadi rasional, pribadi yang kemampuan akan akal budinya sudah matang  dan dapat berfungsi secara normal, pribadi itu paham betul apa yang dilakukannya.
b.   Kedua, tanggung jawab juga mengandaikan adanya kebebasan pada tempat pertama. Artinya, tanggung jawab hanya mungkin relevan dan dituntut dari seseorang atas tindakannya, kalau tindakannya itu dilakukannya secara bebas. Ini berarti orang tersebut melakukan tindakan itu bukan dalam keadaan dipaksa atau terpaksa. Jadi, kalau seseorang terpaksa atau dipaksa melakukan suatu tindakan, secara moral ia tidak bisa dituntut bertanggung jawab atas tindakan itu. Hanya orang yang bebas melakukan sesuatu yang bisa bertanggung jawab atas tindakannya.
c.  Ketiga, tanggung jawab juga mensyaratkan bahwa orang yang melakukan tindakan tertentu memang mau melakukan tindakan itu. Ia sendiri mau dan bersedia melakukan tindakan itu. Syarat ini terutama releva dalam kaitan dengan syarat kedua diatas. Bisa saja seseorang berada dalam situasi tertentu sedemikian rupa seakan-akan ia terpaksa melakukan tindakan. Situasi ini terutama terjadi ketika seseorang dihadapkan pada hanya satu pilihan. Hanya ada satu alternatif. Dalam keadaan seperti itu, tampak seolah-olah orang ini memang terpaksa. Itu berarti menurut syarat kedua, dia tidak bisa bertanggung jawab atas pilihannya karena tidak bisa memilih yang lain. karena itu, tidak relevan untuk menuntut pertanggungjawaban dari orang ini.  
Akan tetapi, ia masih tetap bisa dituntut  untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Ia masih tetap bertanggung jawab atas tindakannya jika dalam situasi seperti itu ia sendiri mau ( apalagi dengan sadar dan bebas) memilih alternatif  yang hanya satu itu dan tidak bisa dielak.
Berdasarkan ketiga syarat diatas, dapat disimpulkan bahwa hanya orang yang berakal budi dan punya kemauan bebas yang bisa bertanggung jawab atas tindakannya, dan karena itu relevan untuk menuntu pertanggungjawaban moral darinya. Bahkan secara lebih tepat lagi, hanya orang hanya orang yang telah menggunakan akal budinya sacara normal dan punya kemauan bebas yang sepenuhnya berada dalam kendalinya dapat bertanggung jawab secara moral atas tindakannya.

2. Status Perusahaan
Dengan kondisi diatas timbul pertanyaan: apakah perusahaan mempunyai tanggung jawab moral dan juga sosial? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita lihat terlebih dahulu apa sebenarnya perusahaan itu dan bagaimana statusnya.
Perusahaan adalah sebuah badan hukum. Artinya, perusahaan dibentuk berdasarkan hukum tertentu dan disahkan dengan hukum atau aturan legal tertentu. Karena itu, keberadaannya dijamin dan sah menurut hukum tertentu. Itu berarti hukum adalah bentukan manusia, yang eksistensinya diikat berdasarkan aturan hukum yang sah. Sebagai badan hukum perusahaan mempunyai hak dan kewajiban legal, tapi tidak dengan sendirinya berarti perusahan juga mempunyai hak dan kewajiban moral.
De George membedakan dua macam pandangan mengenai status perusahaan.
a.    Pertama, pandangan legal-creator, yang melihat perusahaan sebagai sepenuhnya ciptaan hukum, dan karena itu ada hanya berdasarkan hukum.  Menurut panangan ini, perusahaan diciptakan oleh negara dan tidak mungkin ada tanpa negara. Negara dan hukum sendiri adalah ciptaan masyarakat, maka perusahaan juga adalah ciptaan masyarakat. Maka, jika perusahaan tidak lagi berguna bagi masyarakat, masyarakat bisa saja mengubah atau meniaakannya.
b.   Kedua, pandangan legal-recognition yang tidak memusatkan perhtian paa status legal perusahaan melainkan pada perusahaan sebagai suatu usaha bebas dan produktif. Menurut pandangan ini, perusahaan terbentuk oleh orang atau kelompok orang tertentu untuk melakukan kegiatan tertentu dengan cara tertentu seara bebas demi kepentingna orang atau orang-orang tadi. Dalam hal ini, perusahaan tidak dibentuk oleh negara. Negara hanya mendaftarkan, mengakui dan mensahkan perusahaan itu berdasarkan hukum tertentu. Ini sekaligus juga berarti perusahaan bukan organisasi bentukan masyarakat.
Berdasarkan pemahaman mengenai status perusahaan diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan memang punya tanggung jawab, tetapi hanya terbatas pada tanggung jawab legal, yaitu tanggung jawab memenuhi aturan hukum yang ada. Hanya ini tanggung jawab perusahaan, karena perusahaan memang dibangun atas dasar hukum untuk kepentingan pendiri dan bukan untuk pertama-tama  melayani masyarakat.
Secara lebih tegas itu berarti, berdasarkan pemahaman mengenai  status perusahaan diatas, jelas bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral dan sosial. Pertama, karena perusahaan bukanlah moral person yang punya akal budi dan kemauan bebas dalam bertindak. Kedua, kaitan dengan pandangan legal-recognition, perusahaan dibangun oleh orang atau kelompok orang tertentu untuk kepentingannya dan bukan untuk melayani kepentingan masyarakat. Karena itu pada dasarnya perusahaan tidak punya tanggung jawab moral dan sosial.
Lebih dari itu, tidak sepenuhnya benar kalau dikatakan bahwa perusahaan hanyalah badan hukum dan bukan pribadi moral, maka perusahaan tidak punya tanggung jawab sosial-moral. Tidak benar bahwa perusahaan hanya punya tanggung jawab legal. Sebabnya:
a.   Pertama, sebagaimana dikatakan Friedma, dalam arti tertentu perusahaan adalah pribadi artifisial. Ini terutama karna perusahaan terdiri dari manusia. Perusahaan adalah lembaga atau organisasi manusia yang kegiatannya diputuskan, direncanakan, dan dijalankan oleh manusia. Atas dasar ini, sangat sah untuk mengatakan bahwa perusahaan bukanlah pribadi moral dalam arti sepenuh-penuhnya, ia tetap merupakan pribadi moral artifisial.  Hal ini berarti ada kelompok orang-orang yang dianggap sebagai tokoh kunci yang akan mempertimbangkan dan memutuskan segala kegiatan bisnis suatu perusahaan berdasarkan apa yang dianggap paling tepat dan benar dari segala aspek. Karena itu perusahaan tetap meempunyai tanggung jawab moral dan sosial.
b.    Kedua, ada benarnya bahwa tanggung jawab  moral dan sosial tidak bisa diwakilkan dan diwakili oleh orang lain. Tanggung jawab mora pada dasarnya bersifat pribadi dan tidak tergantikan. Dalam konteks ini ada benarnya apa yang dikatakan Milton Friedman bahwa para pemimpian perusahaan tidak bisa mewakili dan mengambil alih tanggung jawab sosial dan moral perusahaan.
Hanya saja, Friedman lupa bahwa ketentuan ini hanya berlaku bagi mereka yang masih bisa bertanggung jawab atas tindakannya, yang dalan hal ini berarti mereka bertinak secara sadar, bebas dan atas kemaunnya sendiri. Namun, dalam banyak kasus kita menemukan bahwa pada situasi tertentu tanggung jawab moral sesungguhnya bisa diwakilkan.
Ketika perusahan melakukan tindakan bisnis yang merugikan pihak lain (sesungguhnya bukan tindakan perusahaan tapi tindakan manusia manusia yang bekerja diperusahaan itu), mau tidak mau harus ada orang tertentu yang bertanggung jawab atas tindakan itu. Kalau tidak, manusia-manusia yang bekerja dalam perusahaan itu akan seenaknya melakukan tindakan bisnis apa saja, termasuk merugikan pihak lain tanpa peduli, lalu tidak mau bertanggung jawab hanya dengan dalih bahwa perusahaan tidak punya tanggung jawab moral.
c.     Ketiga, dalam arti tertentu tanggung jawab legal tidak bisa dipisahkan dari tanggung jawab moral. Karena itu, kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab legal, sudah menyiratkan bahwa dengan demikian perusahaan pun punya tanggung jawab moral karena tanggung jawab legal hanya mungkin dijalankan secara serius kalau ada sikap moral untuk bertanggung jawab. Tanpa sikap moral, berupa kesediaan untuk menerima tanggung jawab itu, tanggung jawab legal tidak mempunyai makna apapun.
Berdasarkan argumen-argumen diatas, dapat disimpulkan bahwa bagaimanapun perusahaan tetap punya tanggung jawab moran dan sosial.  Pada tingkat operasional, bahkan bukan hanya staff manajemen yang memikul tanggung jawab sosial dan moral perusahaan. Seluruh karyawan, dengan satu dan lain cara, dengan tingkat dan kadar yang beragam, memikul tanggung jawab sosial dan moral dari perusahaan dimana mereka bekerja

3. Lingkup Tanggung Jawab Sosial
jika pada akhirnya bisa diterima bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab moral dan sosial, pertanyaan menarik yang perlu dijawab adalah apa sesungguhnya tanggung jawab sosial dan moral perusahaan itu. Apa saja yang termasuk dalam apa yang kita kenal sebagai tanggung jawab sosial perusahaan?
Pertama harus dikatakan bahwa tanggung jawab sosial menunjukan kepedulian perusahaan terhadap kepentingan pihak-pihak lain secara luas daripada sekadar terhadap perusahaan belaka. Keuntungan dalam bisnis tidak mesti dicapai dengan mengorbankan kepentingan pihak lain, termasuk kepentingan masyarakat luas. Bahkan jangan hanya karna demi keuntungan, perusahaan bersikap arogan tidak peduli pada kepentingan pihak-pihak lain. Dengan demikian, dengan konsep tanggung jawab sosial dan moral perusahaan mau dikatakan bahwa suatu perusahaan harus bertanggung jawab atas tindakan dan kegiatan bisnisnya yang mempunyai pengaruh atas orang-orang tertentu, masyarakat, serta lingkungan di mana perusahaan itu beroperasi.
Dalam perkembangan etika bisnis yang lebih mutakhir, muncul gagasan yang lebih komprehensif mengenai lingkup tanggung jawab sosial perusahaan ini. paling kurang sampai sekarang ada empat bidang yang dianggap dan diterima sebagai termasuk dalam apa yang disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan.
a.  Pertama, keterlibatan perusahaan dalam kegiatan-kegiatan sosial yang berguna bagi kepentingan masyarakat luas. Sebagai salah satu bentuk dan wujud tanggung jawab sosial perusahaan, perusahaan diharapkan untuk terlibat dalam berbagai kegiatan yang terutama dimaksudkan untuk membantu memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, tanggung jawab sosial dan moral perusahaan di sini terutama terwujud dalam bentuk ikut melakukan kegiatan tertentu yang berguna bagi masyarakat.
Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar bagi keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial:
Ø  Pertama, karena perusahaan dan seluruh karyawan adalah bagian integral  dari masyarakat setempat.
Ø  Kedua, perusahaan telah diuntungkan dengan mendapat hak untuk mengelola sumber daya alam yang ada dalam masyarakat tersebut dengan mendapat keuntungan bagi perusahaan tersebut.
Ø  Ketiga, dengan tanggung jawab sosial melalui berbagai kegiatan sosial, perusahaan memperlihatkan komitmen moralnya untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan bisnis tertentu yang dapat merugikan kepentingan masyarakat luas.
Ø Keempat, dengan keterlibatan sosial, perusahaan tersebut menjalin hubungan      sosial yang lebih baik dengan masyarakat dan dengan demikian perusahaan tersebut akan lebih diterima kehadirannya oleh masyarakat.
b.   Lingkup tanggung jawab sosial perusahaan yang kedua adalah keuntungan ekonomis.  Bahwa setiap pelaku bisnis dan juga perusahaan secara moral dibenarkan untuk mengejar kepentinga pribadinya – yang dalam bisnis dibaca sebagai keuntungan – karena hanya dengan demikian ia dapat mempertahankan kelangsungan bisnis dan perusahaan itu serta semua orang yang terkait dengan bisnis dan perusahaan itu. Maka, mengejar keuntungan tidak lagi dipandang sebagai hal yang egoistis dan negatif secara moral, melainkan justru dilihat sebagai hal yang secara moral sangat positif.
Dalam kerangka inilah, keuntungan ekonomi dilihat sebagai sebuah lingkup tanggung jawab moral dan sosial yang sah dari suatu perusahaan. Artinya, perusahaan mempunyai tanggung jawab moral dan sosial untuk mengejar keuntungan ekonomi karena hanya deengan itu perusahaan dapat dipertahankan dan juga hanya dengan itu semua karyawan dan semua pihak lain yang terkait bisa dipenuhi hak dan kepentingannya.
c.  Ketiga, lingkup tanggung jawab sosial perusahaan yang tidak kalah pentingnya adalah memenuhi aturan hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat, baik yang menyangkut kegiatan bisnis maupun yang menyangkut kehidupan sosial pada umumnya. Ini merupakan salah satu lingkup tanggung jawab sosial perusahaan yang semakin dirasakan penting dan urgensinya.
d.  Keempat, hormat pada hak dan kepentingan stakeholders atau pihak-pihak terkait yang mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan bisnis suatu perusahaan. Ini suatu lingkup tanggung jawab yang semakin mendapat perhatian tidak hanya dikalangan praktisi bisnis melainkan juga para ahli etika bisnis. Bersama dengan ketiga lingkup diatas, lingkup ini memperlihatkan bahwa yang disebut tanggung jawab sosial perusahaan adalah hal yang sangat konkret. Maka, kalau dikatakan bahwa suatu perusahaan punya tanggung jawab moral dan sosial, itu berarti perusahaan tersebut secara moral dituntut dan menuntut diri untuk bertanggung jawab atas hak dan kepentingan pihak-pihak terkait yang mempunyai kepentingan. Artinya, dalam kegiatan bisnisnya suatu perusahaan perlu memperhatikan hak dan kepentingan pihak-pihak tersebut: konsumen, buruh, investor, pemerintah, pemasok, dll.

4. Argumen yang Menentang Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
Pada bagian ini akan dipaparkan beberapa argumen yang menentang perlunya keterlibatan sosial perusahaan:
a.      Tujuan Utama Bisnis adalah Mengejar Keuntungan Sebesar-besarnya
Argumen paling keras yang menentang keterlibatab perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial sebagai wujud tanggung jawab sosial adalah paham dasar bahwa tujuan utama, bahkan satu-satunya, dari kegiatan bisnis adalah mengejar keuntungan sebesar-besarnya. Yang menjadi perhatian utama perusahaan adalah bagaimana mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya dan seefisien mungkin.
b.      Tujuan yang Terbagi-bagi dan Harapan yang Membingungkan
Keterlibatan sosial sebagai wujud tanggung jawab sosial perusahaan akan menimbulkan minat dan perhatian yang bermacam ragam, yang pada akhirnya akan mengalihkan, bahkan mengacaukan perhatian para pimpinan perusahaan. Ini pada gilirannya akan membingungkan mereka dalam menjalankan perusahaan tersebut. Perhatian yang terbagi-bagi dan membingungkan pada akhirnya merugikan perusahaan karena akan menurunkan kinerja keseluruhan dari perusahaan tersebut.
c.       Biaya Keterlibatan Sosial
Keterlibatan sosial sebagai wujud dari tanggung jawab sosial perusahaan malah dianggap memberatkan masyarakat. Alasannya, biaya yang digunakan untuk keterlibatan sosial perusahaan itu bukan biaya yang disediakan oleh perusahaan itu, melainkan merupakan biaya yang telah diperhitungkan sebagai salah satu komponen dalam harga barang dan jasa yang ditawarkan dalam pasar.
d.      Kurangnya Tenaga Terampil di Bidang Kegiatan Sosial
Dalam argumen ini dikatakan bahwa para pemimpin perusahaan tidak profesional dalam membuat pilihan dan keputusan moral. Mereka hanya profesional dalam bidang bisnis dan ekonomi. Karena itu, perusahaan tidak punya tenaga terampil yang siap untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial tertentu.

5. Argumen yang Mendukung Perlunya Keterlibatan Sosial Perusahaan
Setelah dibahas beberapa argumen yang menentang relevansi dari keterlibatan sosial perusahaan, selanjutnya akan dibahas beberapa argumen  yang menuntut perlu adanya keterlibatan sosial perusahaan sebagai perwujudan tanggung jawab perusahaan.
a.      Kebutuhan dan Harapan Masyarakat yang Semakin Berubah
Setiap kegiatan bisnis dimaksudkan untuk menatangkan keuntungan. Namun dalam masyarakat yang semakin berubah, kebutuhan dan harapan masyarakat terhadap bisnis pun ikut berubah. Karena itu, untuk bisa bertahan dan berhasil dalam persaingan bisnis modern yang ketat ini, para pelaku bisnis semakin menyadari bahwa mereka tidak bisa begitu saja hanya memusatkan perhatian pada upaya mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Mereka sadar sekali bahwa justru untuk mendatangkan keuntungan tersebut, mereka harus peka dan tanggap terhadap kebutuhan dan harapan masyarakat yang semakin berubah itu. Misalnya, masyarakat menuntut agar barang yang diproduksi tetap menghargai hak dan kepentingan karyawan serta masalah lingkungan.
b.      Terbatasnya Sumber Daya Alam
Bisnis diharapkan untuk tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam yang terbatas itu demi keuntungan ekonomis, melainkan juga ikut melakukan kegiatan sosial tertentu yang terutama bertujuan memelihara sumber daya alam.  Ini juga pada akhirnya berguna bagi perusahaan tersebut karena perusahaan tentu akan sulit bertahan kalau sumber daya alam yang terbatas itu habis dieksploitasi tanpa dijaga kelestariannya.
c.       Lingkungan Sosial yang Lebih Baik
Bisnis berlangsung dalam lingkungan sosial yang mendukung kelangsungan dan keberhasilan bisnis itu untuk masa yang panjang. Ini punya implikasi etis bahwa bisnis mempunyai kewajiban dan tanggung jawab moral dan sosial untuk memperbaiki lingkungan sosial ke arah yang lebih baik. Semakin baiknya lingkungan sosial dengan sendirinya akan ikut memperbaiki iklim bisnis yang ada.
d.      Perimbangan Tanggung Jawab dan Kekuasaan
Bisnis mempunyai kekuasaan sosial yang sangat besar. Bisnis mempengaruhi lingkungan, konsumen, kondisi masyarakat, bahkan kehidupan budaya dan moral masyarakat, serta banyak bidang kehidupan lainnya. Karena itu, tanggung jawab sosial sangat dibutuhkan untuk bisa mengimbangi dan sekaligus mengontrol kekuasaan bisnis yang besar itu. Asumsinya, kekuasaan yang terlalu besar dari bisnis, jika tidak diimbangi dan dikontrol dengan tanggung jawab sosial, akan menyebabkan bisnis menjadi kekuataan yang merusak masyarakat.
e.       Bisnis Mempunyai Sumber-Sumber Daya yang Berguna
Bisnis atau perusahaan sesungguhnya mempunyai sumber daya yang sangat potensial dan berguna bagi masyarakat. Perusahaan tidak hanya mempunyai dana, melainkan juga tenaga profesional dalam segala bidang yang dapat dimanfaatkan atau disumbangkan bagi kepentingan kemajuan masyarakat. Pengalaman mereka dalam memecahkan berbagai persoalan bisnis akan sangat berguna untuk memecahkan berbagai persoalan sosial yang dihadapi masyarakat.
f.     Kuntungan Jangka Panjang
Dengan tanggung jawab dan keterlibatan sosial tercipta suatu citra yang sangat positif dimata masyarakat mengenai perusahaan itu. Dengan peduli pada kepentingan masyarakat dan semua pihak terkait, yang mungkin dalam jangka pendek merugikan secara finansial, dalam jangka panjang akan sangat menguntungkan bagi perusahaan tersebut.

6. Implementasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
Setelah kita melihat bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab sosial dan moral dan juga sudah meninjau lingkup tanggung jawab sosial itu serta perlunya tanggung jawab sosial, termasuk keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial, ada baiknya kita lihat juga bagaimana tanggung jawab sosial dan moral itu terimplementasikan dalam kegiatan bisnis.
                Tujuan dan misi suatu perusahaan ditentukan oleh nilai yang dianut oleh perusahaan itu. Maka etos bisnis atau budaya perusahaan punya arti penting dalam menentukan tujuan dan misi perusahaan tersebut. Letak dan penting tidaknya tanggung jawab sosial dan moral dalam perusahaan lalu pertama-tama ditempatkan pada kerangka nilai ini. Sejauh mana perusahaan menganggapnya sebagai  sebuah nilai atau tidak. Kalau tanggung jawab dianggap sebagai sebuah nilai yang harus dipegang teguh oleh perusahaan, maka tanggung jawab sosial ikut menentukan tujuan dan misi perusahaan, yang pada akhirnya akan menentukan strategi  dan struktur organisasi tersebut.
                Strategi yang diwujudkan melalui struktur organisasi demi mencapai tujuan dan misi perusahaan kemudian dievaluasi secara periodik. Salah satu bentuk evaluasi yang mencakup nilai-nilai moral dan sosial, termasuk mengenai tanggung jawab sosial perusahaan adalah apa yang dikenal sebagai social audit. Bentuk evaluasi ini kini semakin dirasakan penting oleh banyak perusahaan mengingat kenyataan bahwa perusahaan yang berhasil dan tahan lama tidak bisa menghindar dari nilai-nilai moral serta tanggung jawab sosial.
                Dalam kaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan, sejauh dianggap sebagai sebuah nilai dan misi yang harus diwujudkan, audit sosial itu bermaksud untuk menilai dan mengukur kinerja perusahaan dalam kaitannya dengan berbagi masalah sosial yang ingin ikut diatasi oleh perusahaan iti. Tujuan audit sosial lalu antara lain untuk menjajaki kembali pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dalam berbagai aspek yang dianggap perusahaan itu penting. Dan tujuan akhir dari audit ini terutama untuk melihat sejauh mana kegiatan bisnis perusahaan tersebut masih tetap sejalan dengan nilai, tujuan dan misi yang diembannya. Karena itu, sasaran akhir audit sosial bukanlah untuk memperoleh sebuah gambaran dan tabel kuantitatif mengenai kinerja perusahaan, melainkan gambaran kualitatif tentang aspek-aspek sosial, kultural, dan moral yang telah dicapai perusahaan  dan dapat dilihat berdasarkan faktor-faktor tertentu yang bisa ditelusuri kendati belum tentu bisa diukur secara kuantitatif.


Minggu, 02 April 2017

MATERI ETIKA BISNIS





  A.   Pengertian Etika Bisnis
            Umum memahami apakah “etika”, maka perlu membandingkannya dengan moralitas. Pengertian etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” berarti adat istiadat atau kebiasaan. Hal ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi lainnya.
            Pengertian tersebut relatif sama dengan moralitas. Moralitas berasal dari bahasa latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi pengertian sacara umum, etika dan moralitas, sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diistitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang konsisten dan berulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan.
            Selain itu, etika juga dipahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan moralitas. Dalam pengertian ini, “etika” mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dari moralitas dan etika dalam pengertian pertama di atas.
            Etika dalam pengertian kedua ini sebagai filsafat moral, atau ilmu yang membahas nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian pertama. Dengan deemikian, etika dalam pengertian pertama berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam kehidupannya. Hal ini berkaitan dengan perintah dan larangan langsung yang nyata. Adapun pengertian etika dalam pengertian kedua adalah lebih normatif sehingga mengikat setiap pribadi manusia.
            Dengan demikian, etika dalam pengertian kedua dapat  dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai:
     1.      nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia;
    2.      masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima.
Dalam bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas, tetapi dapat dipertanggungjawabkan. Bebas dan tanggungjawab adalah unsur pokok dari otonomi moral yang merupakan salah satu prinsip utama moralitas, termasuk etika bisnis sebagaimana akan dibahas.
Selain uraian diatas, dapat dikatakan bahwa etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis (Velasquez, 2005).

  B.   Klasifikasi Etika
      1.      Etika Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertidak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari perilaku.
      2.      Etika Teleologi
Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna. Etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Karena itu, setiap norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi.

  C.   Prinsip-Prinsip Etika Bisnis
            Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik ssungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia. Demikian pula prinsip-prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Prinsip-prinsip etika bisnis yang berlaku di suatu wilayah atau negara akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat tersebut. Prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam bisnis sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip etika pada umumnya. Karena itu, tanpa melupakan kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis, disini secara umum dapat dikemukakan beberapa prinsip etika bisnis sebagai berikut:
      1.      Prinsip Otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannnya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang bisnis yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Ia tahu mengenai bidang kegiatannya, situasi yang dihadapinya, apa yang diharapkan darinya, tuntutan dan aturan yang berlaku bagi bidang kegiatannya, sadar dan tahu akan keputusan dan tindakan yang akan diambilnya serta resiko atau akibat yang akan timbul baik bagi dirinya dan perusahaannya maupun bagi pihak lain. Ia juga tahu bahwa keputusan dan tindakan yang diambilnya akan sesuai atau sebaliknya, bertentangan dengan nilai dan norma-norma tertentu. Orang yang otonom bukanlah orang yang sekedar mengikuti begitu saja norma dan nilai moral yang ada, melainkan adalah orang yang melakukan sesuatu karena tahu dan sadar bahwa hal itu baik. Orang yang otonom tidak hanya sadar akan kewajibannya dan bebas mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan yang dianggapnya baik, melainkan juga orang yang bersedia mempertanggung jawabkan keputusan dan tindakannya serta dampak dari keputusan dan tindakannya itu. Prinsip otonom ini sangat sesuai dengan tuntutan persaingan bisnis yang ketat dimana setiap pelaku bisnis dituntut utuk bisa mengambil keputusan dan bertindak dalam waktu yang tepat. Secara khusus dalam dunia bisnis, tanggung jawab moral yang diharapkan dari setiap pelaku bisnis yang otonom punya dua arah, yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab moral kepada semua pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders).
      2.      Prinsip Kejujuran
Sekilas kedengarannya aneh bahwa kejujuran merupakan sebuah prinsip etika bisnis karna mitos kliru bahwa bisnis adalah kegiatan tipu-menipu demi maraup untung. Harus diakui bahwa memang prinsip ini paling problematik karena masih banyak pelaku bisnis yang mendasarkan kegiatan bisnisnya pada tipu-menipu atau tindakan curang, entah karena situasi eksternal tertentu atau karena dasarnya mmang ia sensdiri suka tipu-menipu. Ada tiga lingkup kegiatan bisnis dibawah ini bisa ditunjukan bahwa bisnis tidak bisa bertahan lama dan berhasil jika tidak didasarkan pada prinsip kejujuran, yaitu sebagai berikut:
a.       Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Dalam mengikat perjanjian atau kontrak tertentu, semua pihak secara a priori saling percaya satu sama lain, bahwa masing masing pihak tulus dan jujur dalam membuat perjanjian dan kontrak itu dan lebih dari itu serius serta tulus dan jujur melaksanakan janjinya.
b.      Kejujuran relevan dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Dalam bisnis modern penuh persaingan, kepercayaan konsumen adalah hal yang paling pokok. Sekali pengusaha menipu konsumen, entah melalui iklan, pelayanan yang tidak sebagaimana digembar-gemborkan, konsumen akan mudah beralih keproduk lain.
c.       Kejujuran relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. Omong kosong jika suatu perusahaan bisa bertahan jika hubungan kerja dalam perusahaan tidak dilandasi dengan kejujuran, jika karyawan terus menerus ditipu oleh atasan dan sebaliknya atasan ditipu oleh karyawan. Kejujuran dalam perusahaan adalah inti dan kekuatan perusahan itu.
Dari ketiga wujud diatas, kejujuran terkait erat dengan kepercayaan. Padahal kepercayaan adalah aset yang sangat penting bagi kegitan bisnis. Sekali pihak tertentu tidak jujur, dia tidak bisa lagi dipercaya dan berarti sulit untuk bertahan dalam bisnis.
      3.      Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Demikian pula, prinsip keadilan menuntut agar setiap orang dalam kegiatan bisnis entah dalan relasi eksternal perusahaan aupun relasi internal perusahaan perlu diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing. Keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.
      4.      Prinsip Saling Menguntungkan (mutual benefit principle)
Prinsip ini menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Prinsisp saling menguntungkan secara positif menuntut agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain. Prinsip ini terutama mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis.  Karena sebagai produsen ingin untung dan sebagai konsumen juga ingin untung. Maka dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini haruslah melahirkan suatu win-win situation.
      5.      Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau nama baik perusahaannya. Ada sebuah imperatif moral yang berlaku bagi dirinya sendiri dan perusahaannya untuk berbisnis agar tetap dipercaya, tetap paling unggul, tetap yang terbaik. Dengan kata lain prinsip ini merupakan tututan dan dorongan dari dalam diri pelaku dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan. Dan itu tercermin dalam seluruh perilaku bisnisnya dengan siapa saja, baik keluar maupun kedalam perusahaan.
Dari semua prinsip diatas, prinsip keadilan dianggap sebagai prinsip yang paling pokok. Prinsip ini pada tingkat tertentu telah terkandung semua prinsip etika bisnis lainnya (prinsip otonomi, kejujuran, saling menguntungkan dan integritas moral).

  D.   Model Etika Bisnis
            Menurut Zimmerer, pihak yang bertanggung jawab terhadap moral etika adalah manajer. Oleh karena itu, ada tiga tipe manajer dilihat dari sudut etikanya, yaitu :
      1.      Immoral Manajemen
Manajer Immoral didorong oleh Sumber : Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough, Entrepreneurship and The New Ventura Formation 1996 hal. 21, alasan kepentingan dirinya sendiri demi keuntungan sendiri atau perusahaannya. Kekuatan yang menggerakkan manajemen Imoral adalah kerakusan/ ketamakan, yaitu berupa prestasi organisasi atau keberhasilan personal. Manajemen immoral merupakan kutub yang berlawanan dengan manajemen etika. Misalnya, pengusaha yang menggaji karyawannya dengan gaji dibawah upah fisik minimum atau perusahaan yang meniru produk-produk perusahaan lain, atau perusahaan percetakan yang memperbanyak cetakannya melebihi kesepakatan dengan pemegang hak cipta dan sebagainya.
Immoral manajemen juga merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankanbisnisnya. 
      2.      Amoral Manajemen
Tujuan utama dari manajemen amoral adalah juga profit, akan tetapi tindakannya berbeda dengan manajemen immoral. Ada satu cara kunci yang membedakannya, yaitu mereka tidak dengan sengaja melanggar hukum atau norma etika. Bahkan pada manajemen amoral adalah bebas kendali dalam mengambil keputusan, artinya mereka tidak mempertimbangkan etika dalam mengambil keputusan. Salah satu contoh dari manajemen amoral adalah penggunaan test lie detector bagi calon karyawan.
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. ). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak.
3. Moral Manajemen
Manajemen moral juga bertujuan untuk meraih keberhasilan, tetapi dengan menggunakan aspek legal dan prinsip-prinsip etika. Filosofi manajer moral selalu melihat hukum sebagai standar minimum untuk beretika dalam perilaku. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku.

  E.   Contoh Kasus Etika Bisnis

Merek Dagang Nike
            Nike adalah merek dagang untuk sepatu, pakaian, dan alat-alat olahraga yang diprodduksi oleh Nike Internasioanal Ltd. yang berkedudukan di Beaverton, Oregon, Amerika Serikat. Pada tanggal 16 Desember 1986 Mahkamah Agung R.I mengeluarkan Peninjauan Kembali terhadap putusan MA tahun sebelumnya, tanggal 24 Juli 1985. Dengan itu Nike Internasional Ltd. dinyatakan mempunyai hak tunggal untuk memakai merek dagang dan nama perniagaan Nike di Indonesia. Sekaligus tuan Lucas Sasmito diperintahkan mencoret merek Nike dari Daftar Umum Direktorat Paten dan Hak Cipta dengan nomor 141.589, yang sudah terdaftar disitu sejak tahun 1980. Sebelumnya MA selalu memenangkan pengusaha Indonesia dalam sengketa merek dagang pihak asing. Demikian juga pada 24 Juli 1985 PT Panarub, milik Lucas Sasmito, masih dimenangkan terhadap Nike Internasional Ltd. Dengan Peninjauan Kembali tersebut MA mengubah sikapnya. Konon, PT Panarub mulai memproduksi sepatu olahraga Nike sejak tahun 1976, ketika merek Amerika belum dikenal di Indonesia. Pada tahun 1980 ia menjadi pemilik merek dagang itu di Indonesia. Sepatu Nike lokal dijual dengan kira-kira separo harga sepatu Nike Amerika. Karena merasa disaingi secara curang, Nike Internasional Ltd. pada tahun 1983 menggugat PT Panarub di pengadilan. Pada tingkat pertama pihaknya dimenangkan. Tetapi ketika perkara berlanjut ke tingkat kasasi, pada tahun 1985, pihak Nike Internasional Ltd. justru dikalahkan. Sebab, ketika gugatan itu diajukan ke pengadilan pada tahun 1983, PT Panarub telah resmi menjadi pemegang merek itu, sejak haknya diumumkan dalam Tambahan Berita Negara 1980. Sementara itu dalam Undang-Undang Merek disebutkan bahwa segala keberatan terhadap merek bisa diajukan dalam waktu 9 bulan setelah diumumkan. Alasan itulah pada tahun 1986 diralat oleh MA. Sebab, Tambahan Lembaran Negara 1980 itu – agar diketahui umum -  menurut majelis baru diterbitkan pada tahun 1985. Keterlambatan penerbitan itu, menurut majelis, tidak boleh menyembabkan pihak yang beritikad baik dirugikan. Sebaliknya, pihak PT Panarub dianggap hakim telah beritikad buruk. Sebab, ternyata pada tahun 1982 PT Panarub pernah mengajak Nike Internasional Ltd. bekerjasama. Ketika itu mereka sudah tau siapa pemilik merek yang asli.


Sumber:
Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis bagi Pelaku Bisnis. Jakarta: PT Rajakgrafindo Persada.
Bertens, Kees. 2000. Pengantar Etika  Bisnis. Yogyakarta: Kanisius. From https://books.google.co.id, 01 April 2017 Pukul 23.03.
Keraf, A. Sonny. 1998.  Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius.