"when you look closely to the path you have travel on, you will realise that God was always with you, directing every step you took"

Minggu, 02 April 2017

MATERI ETIKA BISNIS





  A.   Pengertian Etika Bisnis
            Umum memahami apakah “etika”, maka perlu membandingkannya dengan moralitas. Pengertian etika berasal dari bahasa Yunani “Ethos” berarti adat istiadat atau kebiasaan. Hal ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi lainnya.
            Pengertian tersebut relatif sama dengan moralitas. Moralitas berasal dari bahasa latin “Mos” yang dalam bentuk jamaknya “Mores” yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Jadi pengertian sacara umum, etika dan moralitas, sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diistitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang konsisten dan berulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan.
            Selain itu, etika juga dipahami dalam pengertian yang sekaligus berbeda dengan moralitas. Dalam pengertian ini, “etika” mempunyai pengertian yang jauh lebih luas dari moralitas dan etika dalam pengertian pertama di atas.
            Etika dalam pengertian kedua ini sebagai filsafat moral, atau ilmu yang membahas nilai dan norma yang diberikan oleh moralitas dan etika dalam pengertian pertama. Dengan deemikian, etika dalam pengertian pertama berisikan nilai dan norma-norma konkret yang menjadi pedoman dan pegangan hidup manusia dalam kehidupannya. Hal ini berkaitan dengan perintah dan larangan langsung yang nyata. Adapun pengertian etika dalam pengertian kedua adalah lebih normatif sehingga mengikat setiap pribadi manusia.
            Dengan demikian, etika dalam pengertian kedua dapat  dirumuskan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai:
     1.      nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia;
    2.      masalah-masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima.
Dalam bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas, tetapi dapat dipertanggungjawabkan. Bebas dan tanggungjawab adalah unsur pokok dari otonomi moral yang merupakan salah satu prinsip utama moralitas, termasuk etika bisnis sebagaimana akan dibahas.
Selain uraian diatas, dapat dikatakan bahwa etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis (Velasquez, 2005).

  B.   Klasifikasi Etika
      1.      Etika Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertidak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Atas dasar itu, etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang kuat dari perilaku.
      2.      Etika Teleologi
Berbeda dengan etika deontologi, etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna. Etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus tertentu. Karena itu, setiap norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku begitu saja dalam setiap situasi.

  C.   Prinsip-Prinsip Etika Bisnis
            Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik ssungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia. Demikian pula prinsip-prinsip itu sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat. Prinsip-prinsip etika bisnis yang berlaku di suatu wilayah atau negara akan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai masyarakat tersebut. Prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam bisnis sesungguhnya adalah penerapan dari prinsip etika pada umumnya. Karena itu, tanpa melupakan kekhasan sistem nilai dari setiap masyarakat bisnis, disini secara umum dapat dikemukakan beberapa prinsip etika bisnis sebagai berikut:
      1.      Prinsip Otonomi
Otonomi adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannnya sendiri tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. Orang bisnis yang otonom adalah orang yang sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. Ia tahu mengenai bidang kegiatannya, situasi yang dihadapinya, apa yang diharapkan darinya, tuntutan dan aturan yang berlaku bagi bidang kegiatannya, sadar dan tahu akan keputusan dan tindakan yang akan diambilnya serta resiko atau akibat yang akan timbul baik bagi dirinya dan perusahaannya maupun bagi pihak lain. Ia juga tahu bahwa keputusan dan tindakan yang diambilnya akan sesuai atau sebaliknya, bertentangan dengan nilai dan norma-norma tertentu. Orang yang otonom bukanlah orang yang sekedar mengikuti begitu saja norma dan nilai moral yang ada, melainkan adalah orang yang melakukan sesuatu karena tahu dan sadar bahwa hal itu baik. Orang yang otonom tidak hanya sadar akan kewajibannya dan bebas mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan yang dianggapnya baik, melainkan juga orang yang bersedia mempertanggung jawabkan keputusan dan tindakannya serta dampak dari keputusan dan tindakannya itu. Prinsip otonom ini sangat sesuai dengan tuntutan persaingan bisnis yang ketat dimana setiap pelaku bisnis dituntut utuk bisa mengambil keputusan dan bertindak dalam waktu yang tepat. Secara khusus dalam dunia bisnis, tanggung jawab moral yang diharapkan dari setiap pelaku bisnis yang otonom punya dua arah, yaitu tanggung jawab terhadap diri sendiri dan tanggung jawab moral kepada semua pihak terkait yang berkepentingan (stakeholders).
      2.      Prinsip Kejujuran
Sekilas kedengarannya aneh bahwa kejujuran merupakan sebuah prinsip etika bisnis karna mitos kliru bahwa bisnis adalah kegiatan tipu-menipu demi maraup untung. Harus diakui bahwa memang prinsip ini paling problematik karena masih banyak pelaku bisnis yang mendasarkan kegiatan bisnisnya pada tipu-menipu atau tindakan curang, entah karena situasi eksternal tertentu atau karena dasarnya mmang ia sensdiri suka tipu-menipu. Ada tiga lingkup kegiatan bisnis dibawah ini bisa ditunjukan bahwa bisnis tidak bisa bertahan lama dan berhasil jika tidak didasarkan pada prinsip kejujuran, yaitu sebagai berikut:
a.       Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Dalam mengikat perjanjian atau kontrak tertentu, semua pihak secara a priori saling percaya satu sama lain, bahwa masing masing pihak tulus dan jujur dalam membuat perjanjian dan kontrak itu dan lebih dari itu serius serta tulus dan jujur melaksanakan janjinya.
b.      Kejujuran relevan dalam penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Dalam bisnis modern penuh persaingan, kepercayaan konsumen adalah hal yang paling pokok. Sekali pengusaha menipu konsumen, entah melalui iklan, pelayanan yang tidak sebagaimana digembar-gemborkan, konsumen akan mudah beralih keproduk lain.
c.       Kejujuran relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. Omong kosong jika suatu perusahaan bisa bertahan jika hubungan kerja dalam perusahaan tidak dilandasi dengan kejujuran, jika karyawan terus menerus ditipu oleh atasan dan sebaliknya atasan ditipu oleh karyawan. Kejujuran dalam perusahaan adalah inti dan kekuatan perusahan itu.
Dari ketiga wujud diatas, kejujuran terkait erat dengan kepercayaan. Padahal kepercayaan adalah aset yang sangat penting bagi kegitan bisnis. Sekali pihak tertentu tidak jujur, dia tidak bisa lagi dipercaya dan berarti sulit untuk bertahan dalam bisnis.
      3.      Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai dengan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Demikian pula, prinsip keadilan menuntut agar setiap orang dalam kegiatan bisnis entah dalan relasi eksternal perusahaan aupun relasi internal perusahaan perlu diperlakukan sesuai dengan haknya masing-masing. Keadilan menuntut agar tidak boleh ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya.
      4.      Prinsip Saling Menguntungkan (mutual benefit principle)
Prinsip ini menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. Prinsisp saling menguntungkan secara positif menuntut agar semua pihak berusaha untuk saling menguntungkan satu sama lain. Prinsip ini terutama mengakomodasi hakikat dan tujuan bisnis.  Karena sebagai produsen ingin untung dan sebagai konsumen juga ingin untung. Maka dalam bisnis yang kompetitif, prinsip ini haruslah melahirkan suatu win-win situation.
      5.      Prinsip Integritas Moral
Prinsip ini dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan agar menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baiknya atau nama baik perusahaannya. Ada sebuah imperatif moral yang berlaku bagi dirinya sendiri dan perusahaannya untuk berbisnis agar tetap dipercaya, tetap paling unggul, tetap yang terbaik. Dengan kata lain prinsip ini merupakan tututan dan dorongan dari dalam diri pelaku dan perusahaan untuk menjadi yang terbaik dan dibanggakan. Dan itu tercermin dalam seluruh perilaku bisnisnya dengan siapa saja, baik keluar maupun kedalam perusahaan.
Dari semua prinsip diatas, prinsip keadilan dianggap sebagai prinsip yang paling pokok. Prinsip ini pada tingkat tertentu telah terkandung semua prinsip etika bisnis lainnya (prinsip otonomi, kejujuran, saling menguntungkan dan integritas moral).

  D.   Model Etika Bisnis
            Menurut Zimmerer, pihak yang bertanggung jawab terhadap moral etika adalah manajer. Oleh karena itu, ada tiga tipe manajer dilihat dari sudut etikanya, yaitu :
      1.      Immoral Manajemen
Manajer Immoral didorong oleh Sumber : Thomas W. Zimmerer, Norman M. Scarborough, Entrepreneurship and The New Ventura Formation 1996 hal. 21, alasan kepentingan dirinya sendiri demi keuntungan sendiri atau perusahaannya. Kekuatan yang menggerakkan manajemen Imoral adalah kerakusan/ ketamakan, yaitu berupa prestasi organisasi atau keberhasilan personal. Manajemen immoral merupakan kutub yang berlawanan dengan manajemen etika. Misalnya, pengusaha yang menggaji karyawannya dengan gaji dibawah upah fisik minimum atau perusahaan yang meniru produk-produk perusahaan lain, atau perusahaan percetakan yang memperbanyak cetakannya melebihi kesepakatan dengan pemegang hak cipta dan sebagainya.
Immoral manajemen juga merupakan tingkatan terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis. Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai batu sandungan dalam menjalankanbisnisnya. 
      2.      Amoral Manajemen
Tujuan utama dari manajemen amoral adalah juga profit, akan tetapi tindakannya berbeda dengan manajemen immoral. Ada satu cara kunci yang membedakannya, yaitu mereka tidak dengan sengaja melanggar hukum atau norma etika. Bahkan pada manajemen amoral adalah bebas kendali dalam mengambil keputusan, artinya mereka tidak mempertimbangkan etika dalam mengambil keputusan. Salah satu contoh dari manajemen amoral adalah penggunaan test lie detector bagi calon karyawan.
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak tahu sama sekali etika atau moralitas. ). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak.
3. Moral Manajemen
Manajemen moral juga bertujuan untuk meraih keberhasilan, tetapi dengan menggunakan aspek legal dan prinsip-prinsip etika. Filosofi manajer moral selalu melihat hukum sebagai standar minimum untuk beretika dalam perilaku. Dalam moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar tertinggi dari segala bentuk prilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya. Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran, dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku.

  E.   Contoh Kasus Etika Bisnis

Merek Dagang Nike
            Nike adalah merek dagang untuk sepatu, pakaian, dan alat-alat olahraga yang diprodduksi oleh Nike Internasioanal Ltd. yang berkedudukan di Beaverton, Oregon, Amerika Serikat. Pada tanggal 16 Desember 1986 Mahkamah Agung R.I mengeluarkan Peninjauan Kembali terhadap putusan MA tahun sebelumnya, tanggal 24 Juli 1985. Dengan itu Nike Internasional Ltd. dinyatakan mempunyai hak tunggal untuk memakai merek dagang dan nama perniagaan Nike di Indonesia. Sekaligus tuan Lucas Sasmito diperintahkan mencoret merek Nike dari Daftar Umum Direktorat Paten dan Hak Cipta dengan nomor 141.589, yang sudah terdaftar disitu sejak tahun 1980. Sebelumnya MA selalu memenangkan pengusaha Indonesia dalam sengketa merek dagang pihak asing. Demikian juga pada 24 Juli 1985 PT Panarub, milik Lucas Sasmito, masih dimenangkan terhadap Nike Internasional Ltd. Dengan Peninjauan Kembali tersebut MA mengubah sikapnya. Konon, PT Panarub mulai memproduksi sepatu olahraga Nike sejak tahun 1976, ketika merek Amerika belum dikenal di Indonesia. Pada tahun 1980 ia menjadi pemilik merek dagang itu di Indonesia. Sepatu Nike lokal dijual dengan kira-kira separo harga sepatu Nike Amerika. Karena merasa disaingi secara curang, Nike Internasional Ltd. pada tahun 1983 menggugat PT Panarub di pengadilan. Pada tingkat pertama pihaknya dimenangkan. Tetapi ketika perkara berlanjut ke tingkat kasasi, pada tahun 1985, pihak Nike Internasional Ltd. justru dikalahkan. Sebab, ketika gugatan itu diajukan ke pengadilan pada tahun 1983, PT Panarub telah resmi menjadi pemegang merek itu, sejak haknya diumumkan dalam Tambahan Berita Negara 1980. Sementara itu dalam Undang-Undang Merek disebutkan bahwa segala keberatan terhadap merek bisa diajukan dalam waktu 9 bulan setelah diumumkan. Alasan itulah pada tahun 1986 diralat oleh MA. Sebab, Tambahan Lembaran Negara 1980 itu – agar diketahui umum -  menurut majelis baru diterbitkan pada tahun 1985. Keterlambatan penerbitan itu, menurut majelis, tidak boleh menyembabkan pihak yang beritikad baik dirugikan. Sebaliknya, pihak PT Panarub dianggap hakim telah beritikad buruk. Sebab, ternyata pada tahun 1982 PT Panarub pernah mengajak Nike Internasional Ltd. bekerjasama. Ketika itu mereka sudah tau siapa pemilik merek yang asli.


Sumber:
Arijanto, Agus. 2011. Etika Bisnis bagi Pelaku Bisnis. Jakarta: PT Rajakgrafindo Persada.
Bertens, Kees. 2000. Pengantar Etika  Bisnis. Yogyakarta: Kanisius. From https://books.google.co.id, 01 April 2017 Pukul 23.03.
Keraf, A. Sonny. 1998.  Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar